warak ngendog

Sejarah Warak Ngendog Kota Semarang

Warak Ngendog, atau kadang juga disebut Warak Ngendok atau Warak Ngendhog, secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti badak bertelur. Warak Ngendog adalah mainan anak-anak yang dulu sangat populer di kota Semarang dan sekitarnya, dan biasa dijual saat Festival Dugderan, suatu festival rakyat di Semarang yang diadakan untuk menyambut datangnya bulan Ramadan.

Perayaan Dugderan sendiri merupakan pasar rakyat yang diadakan di Pasar Johar setiap bulan Sya’ban dalam penanggalan Islam. Perayaan ini diadakan setahun sekali untuk menyambut kedatangan Bulan Suci Ramadhan. Perayaan Dugderan akan diisi oleh kegiatan pasar rakyat di jantung Kota Semarang, tepatnya di Pasar Johar. Dugderan biasanya berlangsung selama seminggu sebelum memasuki Bulan Ramadhan. Puncak dari Dugderan sendiri adalah street festival dimana Warak Ngendog diarak di sepanjang area kota Semarang. Sehari sebelum Ramadhan tiba, puncak Perayaan Dugderan akan digelar. Akan diadakan kirab yang diikuti oleh pasukan merah putih, drumband, warak ngendhog, warga yang memakai pakaian adat, meriam, dan berbagai kesenian lain dari Semarang.

Dua buku hasil karya sejarahwan Semarang Nio Joe Lan, dalam karya klasiknya “Riwajat Semarang” (1936), dan Amen Budiman dalam serialnya “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan” (1976), tidak pernah menyebut siapa pencipta warak dan waktu penciptaannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amen Budiman, diperkirakan binatang rekaan yang menjadi maskot acara itu mulai dikenal masyarakat pada akhir abad ke-19. Asumsinya ini dilihat dari kemunculan mainan warak ngendog dalam setiap perayaan megengan atau dugderan. Tepatnya pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati Semarang periode 1881-1897, Ario Purboningrat.

Tak ada penjelasan pasti mengenai kapan mulai keluarnya Warak Ngendok ini, dan diperkirakan merupakan sebuah tradisi yang sudah berusia ratusan tahun, jauh sebelum kota Semarang berdiri. Bahkan, saat Ki Ageng Pandan Arang mendirikan Kota Semarang dan menjadi Bupati pertama kali, pun hewan mitologi ini pun sudah hadir di tengah masyarakat.

Ki Ageng Pandan Arang sendiri adalah putra dari Bupati Pertama Semarang Harya Madya Pandan. yang menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Bupati Kedua Semarang dengan gelar Ki Ageng Pandanaran setelah ayahnya meninggal dunia. Berdasar keputusan hasil perundingan antara Sutan Hadiwijaya (penasehat Istana Demak) dengan Sunan Kalijaga, Ia diangkat menjadi kepala pemerintahan Semarang pada tanggal 2 Mei 1547 M.

suhugemar

Sebagai kepala pemerintahan, Ki Ageng Pandanaran melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh sang ayah. dan ia juga giat mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk membina warga Semarang. Kegiatan tersebut antara lain adalah mengadakan pengajian secara rutin, menyampaikan ceramah-ceramah melalui khotbah Jumat, mengembangkan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah, juga memperkenalkan Warak Ngendok ini pertama kali kepada warga Semarang kuno kala itu. Dan sejak saat itu, Warak Ngendok terus dijadikan salah satu maskot Kota Semarang.

Warak berasal dari bahasa Arab “waro’a” yang berarti manusia harus menjaga diri dari hawa nafsu dan perbuatan yang tidak baik, salah satunya perbuatan bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari hari melalui amalan puasa. Karena kalau tindakan ini kita lakukan maka akan bermanfaat bagi diri kita maupun masyarakat pada umumnya dan kita akan menerima pahalanya. Pahala dari perbuatan baik kita ini disimbolkan dengan telur atau bertelur dalam bahasa Jawa “Ngendog” maka jadilah Warak Ngendog.

Bentuk fisik Warak Ngendog sendiri memiliki berbagai intepretasi; ada yang digambarkan seperti kambing, kuda, kerbau, ataupun barongsai. Sementara kepalanya terkadang menyerupai kepala naga jawa, naga cina, kambing, atau kuda. Dengan bulu yang acak-acakan atau keriting dan terkadang lurus dalam aneka warna.

dugderan semarang

FILOSOFI DIBALIK WARAK NGENDOG

Berbagai filosofi ada dibalik Warak Ngendog ini, dengan penjabaran sebagai berikut:

  1. Bentuk fisik Warak yang lurus menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus, dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dan ungkapan lisan.
  2. Bagian tubuh yang berbeda, dimana kepala dari hewan kambing atau naga, dengan tubuh lurus yang terkadang dituliskan dalam berbagai sumber merupakan interpretasi buraq, dan empat kaki yang seperti kambing merupakan gambaran bahwa Warak Ngendog merupakan perwujudan dari asimilasi yang harmonis antar budaya dan keragaman etnis yang tinggal di Semarang.
  3. Telur merupakan lambang kehidupan baru, dimana Warak yang baru saja Ngendog (bertelur), selalu siap menjaga telurnya yang akan menetas menjadi kehidupan baru di Semarang.

Cermin Akulturasi

Pencipta dari Warak Ngendog masih menjadi misteri hingga saat ini dan belum ada yang secara jelas menyebutkan siapa penciptanya. Meskipun Sejarahwan Semarang Nio Joe Lan dalam karya klasiknya “Riwajat Semarang” (1936) dan Amen Budiman dalam serialnya “Semarang Sepanjang Jalan Kenangan” (1976) juga tidak pernah menyebutkan siapa pencipta Warak Ngendog dan kapan Warak Ngendog pertama kali dibuat. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Amen Budiman, Warak Ngendog mulai dikenal oleh masyarakat pada akhir abad ke-19. Hal ini dilihat dari kemunculan mainan Warak Ngendog dalam setiap perayaan megengan atau dugderan pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati Semarang periode 1881-1897, Ario Purboningrat.

Berdasarkan esai dari Budayawan Semarang, Djawahir Muhammad, ia sependapat dengan pendapat Amen Budiman. Djawahir menyatakan bahwa kemunculan Warak sebagai benda budaya atau karya seni kriya khas masyarakat Semarang bisa didekati secara ilmiah dengan menunjuk penampilan kali pertama Pasar Malam Sentiling di Mugas pada tahun 1936. Pada saat itu, keramaian tersebut digelar untuk merayakan ulang tahun ke-100 Ratu Wilhelmina. Warak Ngendok juga dikenal sebagai binatang serupa badak yang ditemukan oleh warga. Konon, sejumlah warga tengah melakukan babat alas di hutan yang kini menjadi Kampung Purwodinatan. Dari cerita tersebut, kemudian warga di kampung itu banyak yang membuat kerajinan Warak Ngendog dan dijual pada saat Dugderan.

Meskipun belum jelas siapa pencipta Warak Ngendog, makna filosofi yang terkandung di dalamnya tetap relevan sebagai pedoman hidup manusia di zaman apapun. Wujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan dari tiga simbol etnis mencerminkan persatuan atau akulturasi budaya di Semarang. Warak Ngendog memiliki ciri khas bentuk yang lurus yang menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus, dan berbicara apa adanya, sehingga tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Warak Ngendog juga dikenal sebagai maskot acara di masyarakat dan kerap digunakan dalam setiap perayaan untuk mempererat hubungan antarwarga. Oleh karena itu, Warak Ngendok merupakan simbol penting dari kebudayaan dan identitas masyarakat Semarang.

Jelajahi Kota Semarang

Panduan Wisata Semarang | Panduan Wisata Kuliner Semarang | Panduan Oleh Oleh Khas Semarang

Landmark

Titik Nol Kilometer | Kota Lama | Tugu Muda | Lawang Sewu | Pasar Johar | Alun Alun Kota Semarang | Masjid Agung Jawa Tengah | Gereja Blenduk | Gereja Katedral Semarang | Pagoda Avalokitesvara | Klenteng Sam Poo Kong

Budaya

Warak Ngendog | Dugderan | Popokan | Gambang Semarang

Wisata

Kampung Pelangi | Pasar Klitikan | Candi Gedong Songo | Goa Kreo | Taman Nasional Karimunjawa | Jembatan Kaca Tinjomoyo | Umbul Sidomukti | Brown Canyon | River Tubing | Ayanaz Gedongsongo | Eling Bening

Sejarah

Sejarah Kota Semarang | Pertempuran Lima Hari di Semarang | Bangunan Bersejarah| Semarang Tempo Dulu dan Sekarang

Kuliner

Lumpia Gang Lombok | Es Puter Conglik | Soto Bangkong | Mie Kopyok Pak Dhuwur

Oleh Oleh

Lumpia | Tahu Bakso | Bandeng Presto | Moaci Gemini

Urban Legend

SMA 1 Semarang | Gedung Marabunta | Tanjakan Gombel | Sendang Nganten