Anda sudah familiar dengan kata “dugderan”? Terutama jika Anda berasal dari Jawa Tengah atau Jawa Timur, kata tersebut pasti bukanlah hal yang asing. Dugderan merupakan istilah yang digunakan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Simak penjelasan tentang arti dan asal usul acara ini di bawah ini.
Apa itu Dugderan?
Menurut seorang warga Semarang yang ditanyai oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, “Dug” adalah suara bedug dipukul, sementara “der” adalah suara meriam atau mercon yang menjadi tanda telah memasuki bulan puasa. “Bedug dan meriam dibunyikan oleh Wali Kota Semarang setelah menerima hasil rapat para kiai atau ulama. Karena Semarang sangat luas dan belum terdapat speaker, maka dipilihlah suara yang bisa didengar oleh seluruh warga,” jelas seorang warga ketika mengunjungi persiapan dugderan tahun 2019 di kawasan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) seperti yang dilansir di laman Jatengprov.
Menambahkan penjelasan tersebut, dugderan adalah festival khas Kota Semarang yang diadakan setiap tahun, tepatnya pada bulan Sya’ban dalam penanggalan Islam, untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Acara ini merupakan perayaan rakyat yang dihadiri oleh masyarakat dari berbagai lapisan usia, gender, dan kelompok etnis. Selama acara, masyarakat akan menikmati pertunjukan budaya dan kuliner daerah yang sangat beragam. Dugderan juga dianggap sebagai ajang silaturahmi antarwarga, di mana masyarakat dapat saling bersilahturahmi dan mempererat tali persaudaraan.
- Buktikan Diri Sebagai Gamer Sejati dengan Memiliki ASUS ROG Strix Scar 16
- Mall di Semarang Yang Cocok Untuk Wisata dan Belanja Keluarga
- Service Center Xiaomi Resmi Semarang, Jam Buka, Lokasi, dan Nomer Kontak
- Bengkel Yamaha Terdekat Anda di Semarang
- Samsung Service Center Semarang, Lokasi , Layanan yang Disediakan, dan Layanan WhatsApp
Sejarah Dugderan
Dugderan pertama kali diadakan sekitar tahun 1881-1987, dan pusatnya berada di kawasan Simpang Lima Semarang, berdasarkan dua buku berjudul Riwajat Semarang (Nio Joe Lan, 1936) dan Semarang Sepanjang Jalan Kenangan (Amen Budiman, 1976). Acara ini dibuka oleh Bupati setempat, R.M Tumenggung Ario Purbaningrat, dengan tanda penyalaan mercon dan kembang api. Kemudian, acara dilanjutkan dengan arak-arakan kirab budaya dari kawasan Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman di Kawasan Johar.
Sebelum acara dimulai, bupati dan beberapa pejabat setempat melakukan halaqah atau diskusi dengan ulama Masjid Kauman untuk menetapkan awal pelaksanaan ibadah puasa. Hasil diskusi diarak oleh Tumenggung Aryo Purboningrat dan warga Semarang dari Masjid Kauman menuju Masjid Agung Jawa Tengah untuk diserahkan kepada walikota. Kemudian, walikota yang akan mewartakan kepada masyarakat mengenai penanda tibanya bulan Suci Ramadan. Ia juga menyerukan agar masyarakat menjalankan ibadah puasa dengan baik. Seruannya ditutup dengan memukul bedug berkali-kali, diikuti dengan bunyi petasan dan mercon.
Saat ini, dugderan diadakan seminggu sebelum bulan Suci Ramadan tiba dan berlangsung selama seminggu hingga H-1 puasa pertama.
Kirab Budaya Sambut Ramadan
Masyarakat Semarang selalu memeriahkan acara dugderan dari tahun ke tahun. Mereka memadati kawasan masjid untuk menyaksikan berbagai kesenian Semarang mulai dari tari-tarian hingga warak ngendhog. Kirab budaya diikuti oleh berbagai kalangan, seperti sekolah, TNI, dan organisasi masyarakat. Mereka menampilkan tari-tarian, drumband, pasukan merah-putih, atraksi bela diri, hingga pertunjukan kostum dan kesenian lainnya. Acara ini juga diwarnai dengan arak-arakan warak ngendhog, yaitu maskot dugderan yang melambangkan kerukunan antaretnis di kota tersebut. Warak Ngendhog dipanggul oleh sejumlah orang dan tampil bersama penari dalam pembukaan Festival Dugderan.
Setelah arak-arakan pada siang hari, malamnya pusat Kota Semarang diramaikan dengan pasar malam dugderan di kawasan sekitar Pasar Johar. Pasar ini menjual berbagai macam barang, seperti makanan atau jajanan, pakaian, dan mainan tradisional anak.
Makna Filosofis Warak Ngendhog yang Mengagumkan
Menurut Wikipedia, Warak Ngendhog adalah gabungan dari kata “warak” yang berarti badak dalam bahasa Jawa atau suci dalam bahasa Arab, dan “ngendhog” yang artinya bertelur. Secara filosofis, Warak Ngendhog bermakna sebagai pahala yang didapat setelah seseorang menjalani proses suci. Maka, siapa saja yang menjaga kesuciannya selama bulan Ramadan akan menerima pahala yang besar.
Di Kota Semarang, Warak Ngendhog dikenal sebagai mainan anak-anak yang kerap dijual saat Festival Dugderan. Warak Ngendhog adalah hewan mitologi yang tercipta dari hasil akulturasi atau persatuan berbagai golongan etnis di Semarang, seperti Cina, Arab, dan Jawa. Hewan mitologi ini memiliki kepala naga yang mewakili kebudayaan etnis Cina, badan unta yang mewakili kebudayaan etnis Arab, dan kaki kambing yang mewakili kebudayaan etnis Jawa.
Secara filosofis, Warak Ngendhog memiliki makna yang mendalam. Fisik warak yang tegap menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus, dan berbicara apa adanya. Bagian tubuh yang berbeda, mulai dari kepala, badan, hingga kaki, melambangkan keharmonisan dalam keberagaman. Sedangkan telur yang dihasilkan melambangkan kehidupan baru bagi warga Kota Semarang.
Semoga Warak Ngendhog terus menjadi bagian dari tradisi daerah Semarang dan lestari dari tahun ke tahun. Dugderan adalah momen yang tepat untuk mengenang makna filosofis yang terkandung dalam Warak Ngendhog.
Jelajahi Kota Semarang
Landmark
Titik Nol Kilometer | Kota Lama | Tugu Muda | Lawang Sewu
Budaya
Warak Ngendog | Dugderan | Popokan