Gambang Semarang

Asal Usul Gambang Semarang, Simbol Keberagaman

Gambang Semarang merupakan karya seni akulturasi budaya antara masyarakat Tionghoa dan Jawa. Sejak zaman penjajahan, kota Semarang dikenal sebagai tempat tinggal bagi berbagai etnis. Etnis Eropa, Melayu, Arab, dan Tionghoa memiliki sejarah yang kaya di Semarang.

Kampung Kauman di kawasan Johar merupakan tempat tinggal bagi masyarakat Arab. Di sisi lain, Kawasan Kota Lama menjadi tempat tinggal para bangsa Eropa, dan Kampung Pecinan dijadikan hunian oleh masyarakat etnis Tionghoa. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang aneh ketika budaya Jawa dan Tionghoa bergabung menjadi sebuah seni pertunjukan seperti Gambang Semarang.

Dalam pertunjukannya, Gambang Semarang memadukan musik, vokal, tari, dan lawakan. Sebagai salah satu seni pertunjukan yang menjadi simbol kota Semarang, sayangnya tidak banyak penduduk setempat yang mengikuti perkembangan Gambang Semarang dan mengetahui sejarahnya. Padahal, Gambang Semarang merupakan representasi kebudayaan Semarang yang beragam sejak dulu.

Dalam satu pertunjukan Gambang Semarang, penonton dapat merasakan keindahan musik yang dipadukan dengan gerakan tari yang apik. Seni pertunjukan ini menampilkan kekayaan budaya Jawa dan Tionghoa yang mampu memikat hati penonton dari berbagai latar belakang budaya. Selain itu, Gambang Semarang juga menjadi bukti keberagaman dan toleransi antar etnis yang ada di kota Semarang.

Secara keseluruhan, Gambang Semarang bukan hanya merupakan sebuah seni pertunjukan, tetapi juga menjadi lambang kemajemukan dan keberagaman penduduk kota Semarang. Melalui seni pertunjukan ini, masyarakat Semarang dapat merayakan keanekaragaman budaya yang ada di kota mereka dan mengapresiasi warisan leluhur mereka yang terus dijaga hingga saat ini.

Asal Usul Seni Musik Gambang Semarang yang Diadaptasi dari Gambang Kromong Betawi

Menurut Djawahir Muhammad, seorang budayawan yang tinggal di Semarang, Gambang Semarang pertama kali muncul karena adanya gagasan penting bahwa kota Semarang harus memiliki seni musik khasnya sendiri. Lie Hoo Soen, seorang anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menyampaikan gagasan tersebut kepada Bossevain, Walikota Semarang.

Bossevain menyetujui gagasan tersebut dan menunjuk Lie Hoo Soen untuk melaksanakannya dengan cara membeli seperangkat alat musik Gambang Kromong di Batavia. Hal ini menjadi lebih mudah karena Lie Hoo Soen sebelumnya sudah memiliki hubungan yang baik dengan kelompok Gambang Kromong di sana. Alat musik tersebut kemudian digunakan oleh generasi pertama Gambang Semarang.

Ada seorang pemain dan dua penyanyi Gambang Kromong yang bersedia datang ke Semarang untuk memperkenalkan seni musik Gambang di kota tersebut. Mereka adalah Pak Jayadi, Mpok Neny, dan Mpok Royom; tugas mereka adalah melatih pemain baru yang direkrut dari orkes keroncong “Irama Indonesia”.

Pementasan perdana Gambang Semarang dipimpin oleh Pak Jayadi dan beberapa temannya yang bergabung dalam grup Gambang Kromong “Kedaung” dari Batavia. Pementasan tersebut berlangsung sekitar tahun 1932 di Klenteng Tay Kak Sie, sebuah kelenteng tua yang terletak di Gang Lombok Semarang. Dalam pementasan tersebut, lagu-lagu yang digunakan masih mengadaptasi lagu-lagu Gambang Kromong, belum ada lagu orisinal yang dimainkan oleh Gambang Semarang.

Beberapa waktu kemudian, Gambang Semarang mulai memainkan lagu-lagu ciptaan Oey Yok Siang dan Sidik Pramono. Gambang Semarang mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat Jawa dan Tionghoa, sehingga mereka diundang untuk tampil di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar Semarang. Dalam seni musik Gambang Semarang, terdapat unsur adaptasi dari Gambang Kromong Betawi yang menjadi ciri khasnya.

Asal Usul Gambang Semarang Dalam Versi Lain

Gambang Semarang, seni musik tradisional yang khas dari Kota Semarang, memiliki sejarah yang menarik. Menurut Djawahir Muhammad, seorang budayawan yang bermukim di Semarang, Gambang Semarang diawali oleh gagasan pentingnya kota memiliki sebuah kesenian khas. Gagasan tersebut dilontarkan oleh Lie Hoo Soen, seorang anggota Volksraad (Dewan Rakyat), kepada Bossevain, Walikota Semarang.

Bossevain pun setuju dan menunjuk Lie Hoo Soen untuk menjalankan ide tersebut dengan membeli seperangkat alat musik Gambang Kromong di Batavia. Hal ini semakin mudah karena sebelumnya Lie Hoo Soen sudah punya relasi baik dengan kelompok Gambang Kromong tersebut. Alat-alat musik tersebut kemudian digunakan oleh generasi pertama Gambang Semarang.

Namun, ada versi lain asal usul Gambang Semarang, yaitu bahwa seni musik ini merupakan perpaduan seni lokal masyarakat Semarang dan para pendatang dari Cina. Berdasarkan kesaksian seorang informan pada penelitian Dr. Dewi Yuliati, pada tahun 1939, informan tersebut menyaksikan seorang pengamen keliling mengamen di jalanan Semarang menggunakan instrumen musik Cina dan Jawa. Semua instrumen tersebut sama dengan instrumen musik yang digunakan Gambang Semarang pada era 1932-1960.

Pada awalnya, pementasan perdana Gambang Semarang digawangi oleh Pak Jayadi dan beberapa temannya yang bergabung dalam kelompok Gambang Kromong “Kedaung” asal Batavia. Pementasan tersebut berlangsung sekitar tahun 1932 di Klenteng Tay Kak Sie, sebuah kelenteng tua yang berlokasi di Gang Lombok Semarang. Dalam pementasan tersebut, lagu-lagu yang digunakan masih menggunakan lagu Gambang Kromong, belum ada lagu-lagu orisinal yang dimainkan Gambang Semarang.

Baru beberapa waktu kemudian, Gambang Semarang mulai memainkan lagu-lagu ciptaan Oey Yok Siang dan Sidik Pramono. Gambang Semarang mendapat apresiasi positif dari masyarakat Jawa dan Tionghoa, hingga mereka diundang mementaskan Gambang Semarang di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar Semarang.

Meskipun ada dua versi berbeda tentang asal usul Gambang Semarang, namun yang pasti Gambang Semarang tetaplah sebuah kesenian yang diprakarsai oleh warga Semarang, berkembang di wilayah Semarang, dan memiliki ciri khas Semarangan. Gambang Semarang dapat memberikan pengalaman budaya yang unik bagi siapa saja yang mendengarkan dan menyaksikannya.

Senjakala Gambang Semarang

Gambang Semarang pernah mengalami masa-masa sulit pada era 1980-2000-an. Beberapa kelompok Gambang Semarang menghadapi berbagai masalah, seperti kehilangan para pemain karena jarang terjadi pergantian, kurangnya dukungan pendanaan, dan juga menurunnya minat masyarakat Kota Semarang terhadap Gambang Semarang.

Baca Juga: Sejarah Warak Ngendog Kota Semarang

Gambang Semarang Art Company: Revitalisasi Gambang Semarang

Pada awal tahun 2000-an, Gambang Semarang mulai diperbincangkan dengan serius setelah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang melakukan riset untuk lebih memahami Gambang Semarang. Riset tersebut membuka harapan untuk menghidupkan kembali seni Gambang Semarang yang sempat mengalami masa-masa sulit. Dari riset tersebut, lahir komunitas yang masih aktif hingga saat ini, yaitu Gambang Semarang Art Company (GSAC).

GSAC mengemas Gambang Semarang dengan sentuhan modern dan memadukan lagu-lagu keroncong dan pop dalam setiap pementasannya. Tri Subekso, Ketua GSAC yang akrab dipanggil Bekso, mengatakan bahwa pembaharuan Gambang Semarang dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi dari riset FIB Undip tentang perlunya revitalisasi Gambang Semarang.

Meski Gambang Semarang diperbarui, Bekso tetap optimis bahwa Gambang Semarang akan tetap bertahan tanpa meninggalkan substansi aslinya. Bekso mengatakan bahwa beberapa kelompok Gambang Semarang juga pernah melakukan pembaharuan dan sukses, yang penting adalah semangat Gambang Semarang-nya. Gambang Semarang, dalam tangan GSAC, terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tetap menjadi bagian penting dari budaya Semarang masa kini.

Gambang Semarang Sebagai Budaya Hybrid

Gambang Semarang merupakan hasil gabungan budaya Tionghoa dan Jawa yang saling berbeda. Hal ini terlihat dari alat musik, penari, serta lagu yang digunakan dalam Gambang Semarang. Menurut Djawahir, Gambang Semarang menarik karena mampu menyelaraskan dua etnis yang berbeda sehingga menghasilkan budaya baru yang unik.

Integrasi dan akulturasi dua kebudayaan etnis yang berbeda ini menghasilkan seni kaum peranakan atau seni pembaharuan. Bekso, ketua Gambang Semarang Art Company (GSAC), menyebutkan bahwa ciri khas Gambang Semarang adalah budaya hybrid yang menggabungkan budaya Tionghoa-Jawa. Menurutnya, hal ini harus dipertahankan sebagai sebuah simbol karena Gambang Semarang menjadi sebuah entitas budaya baru yang mampu menciptakan daya tarik tersendiri.