kampung budaya semarang

Kampung Budaya Semarang, Keragaman Budaya Masa Lalu

Kampung budaya Semarang, mencatat jejak-jejak masa lalu yang terpelihara dengan baik, mengisahkan tentang peradaban yang telah lama berinteraksi dan beradu di Semarang, menjadi catatan hidup yang memamerkan keanekaragaman budaya dan kekayaan sejarah yang mendalam.

Perjalanan sejarah Kota Semarang menawarkan narasi yang berbeda dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Sementara banyak kota atau wilayah lain mengalami awal sejarahnya dengan “babad alas” oleh para pendirinya, Semarang, di sisi lain, memulai lembaran sejarahnya sebagai kota pantai, yang dapat ditelusuri dengan menjelajahi empat kampung budayanya yang terkenal: Kampung Kauman, Kampung Pecinan, Kampung Belanda, dan Kampung Melayu. Setiap kampung ini menawarkan cerita uniknya sendiri, membawa pengunjung melintasi lorong-lorong sejarah, dan memperkenalkan mereka kepada berbagai elemen budaya yang telah berkontribusi membentuk karakteristik kota ini.

Dengan mengunjungi keempat kampung budaya ini, seseorang dapat memahami lebih dalam bagaimana Semarang tumbuh dan berkembang menjadi kota multikultural yang kita lihat hari ini. Melalui bangunan-bangunan tua, makanan lezat, dan tradisi yang masih dijaga, keempat kampung budaya ini membuka pintu ke masa lalu Semarang, mengajak kita untuk merasakan dan menghargai keanekaragaman budaya yang membuat kota ini begitu istimewa.

Kampung Kauman, Cikal Bakal Perkembangan Kota Semarang yang Wajib Dipertahankan

kampung kauman semarang

Berdekatan dengan Pasar Johar, terletak sebuah kawasan tua yang dikenal dengan nama Kampung Kauman. Nama ini merupakan identitas dari sebuah kampung yang kerap dijumpai dalam struktur ruang kota-kota di Jawa.

Rancangan umum kota-kota di Jawa biasanya memiliki pola dasar yang serupa, di mana selalu terdapat alun-alun yang dikelilingi oleh gedung pemerintahan dan masjid besar. Di sekitar masjid besar ini, terhampar rumah-rumah yang dikenal dengan sebutan Kauman.

Komunitas Kauman adalah komunitas unik yang anggotanya tidak hanya terikat oleh darah, tetapi juga oleh elemen budaya, nilai-nilai keagamaan, dan tradisi yang mereka bagikan.

Sebagai sebuah kampung tradisional, Kauman dihuni oleh penduduk asli yang terbentuk selama masa pemerintahan Ki Ageng Pandan Arang. Kampung ini membawa sejarah yang menarik, terkait erat dengan eksistensi Masjid Kauman.

Meskipun termasuk dalam kategori masjid tua, masjid ini bukanlah masjid pertama yang dibangun oleh Ki Ageng Pandan di kota Semarang. Hal ini disebabkan karena ulama terkenal ini awalnya menetap di Bukit Bergota sebelum memutuskan untuk pindah ke Semarang, tepatnya di Pedamaran.

Di lokasi inilah, kemudian dibangun sebuah masjid yang lengkap dengan pemukiman para santrinya, yang dikenal dengan nama Kemasjidan. Saat Ki Ageng Pandan ditunjuk sebagai Bupati Semarang, pusat pemerintahan kemudian didirikan di daerah Kanjengan.

Kampung Pecinan, Berawal dari Perlawanan

Lokasi Kampung Pecinan di Semarang berdekatan dengan wilayah Kota Lama, Semarang. Area Pecinan Semarang adalah salah satu warisan Indonesia yang juga berkontribusi dalam membentuk karakter kota Semarang. Eksistensi Pecinan Semarang menawarkan paduan unik antara wisata religi, budaya, dan kuliner. Wilayah Pecinan mayoritas dihuni oleh komunitas Tionghoa.

Pada awalnya, komunitas Tionghoa bermukim di daerah Simongan pada tahun 1740, sekitar area kelenteng Sam Po Kong. Namun, oleh pihak kolonial Belanda, pemukiman Tionghoa dipindahkan ke pusat kota untuk mengurangi risiko penyebaran pemberontakan komunitas Tionghoa yang terjadi di kota-kota lain. Tujuan lain dari pemindahan ini adalah agar pemerintah Belanda dapat memonitor aktivitas komunitas Tionghoa di Semarang dengan lebih efektif. Pemukiman baru komunitas Tionghoa berada di pusat kota, dekat dengan benteng atau pos militer Belanda, terletak di sebelah timur Sungai Semarang. Namun, pada tahun 1741, pemukiman ini dipindahkan lagi ke sebelah barat sungai, sehingga pemukiman Belanda dan Tionghoa terpisah oleh Sungai Semarang.

Pemindahan lokasi pemukiman ini dinilai sebagai langkah positif, sebab menurut prinsip feng shui, lokasi pemukiman yang dikelilingi sungai diyakini akan membawa keberuntungan bagi penghuninya. Area pecinan baru ini adalah lahan kosong dengan sebuah bale kambang atau kolam di tengahnya. Setelah itu, rumah-rumah dibangun menghadap bale kambang dan berhadapan dengan sungai. Keberadaan bale kambang dianggap memiliki arti baik dalam feng shui, dimana elemen air akan menangkap energi positif.

Wilayah Pecinan Semarang yang pertama kali berkembang adalah daerah Pecinan Lor (Pecinan Utara) atau A-long-knee, yang kemudian dikenal dengan nama Gang Waru. Berkembang selanjutnya adalah Pecinan Kidul (Pecinan Selatan), wilayah ini dikenal dengan nama Sebandaran. Daerah yang disebut sebagai Pecinan Wetan (Pecinan Timur) adalah Gang Pinggir yang juga merupakan wilayah yang paling awal berkembang.

Rumah-rumah dengan desain arsitektur yang menyerupai pelana kuda masih banyak terlihat di Pecinan Semarang. Selain ciri khas arsitektural, kawasan pecinan juga dikenal dengan keberadaan klenteng-klentengnya. Di Pecinan Semarang, terdapat banyak klenteng yang berusia ratusan tahun. Terdapat 11 klenteng, baik yang besar maupun kecil. Klenteng Tay Kak Sie yang megah di Gang Lombok adalah salah satu klenteng terkenal. Sedangkan Klenteng Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul Timur, dikenal sebagai klenteng tertua di Semarang.

Kampung Belanda, The Little Netherland

kampung belanda

Transisi Kota Semarang menjadi sebuah kota bergaya Eropa dimulai pasca konflik antara Trunojoyo dengan Amangkurat I dan Amangkurat II. Pada tahun 1677, setelah Amangkurat I berpulang, Amangkurat II sebagai bentuk apresiasi kepada VOC atas dukungan militernya melawan Trunojoyo, berjanji untuk menyerahkan wilayah Priangan dan kota-kota pesisir utara termasuk Kota Semarang, yang sebelumnya merupakan pelabuhan utama Kerajaan Mataram yang pada saat itu berpusat di Keraton Plered sebelum berpindah ke Keraton Kartasura.

Semarang kemudian diserahkan oleh Amangkurat II sebagai kompensasi biaya perang dan kemudian menjadi ibu kota provinsi pesisir utara Jawa atau Nordkust, menggantikan aktivitas VOC yang sebelumnya berpusat di Jepara.

Semarang pada era VOC dan Hindia Belanda berkembang pesat berkat keberadaan perkebunan di daerah hinterland (wilayah Swapraja atau Vorstenlanden), yakni kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Jogjakarta. Semarang mengalami perkembangan lebih cepat dibandingkan Kota Batavia (sekarang Jakarta) dan Surabaya yang baru mulai berkembang di pertengahan 1800-an seiring dengan beroperasinya kapal uap di Hindia-Belanda.

Perusahaan-perusahaan dagang Eropa membuka kantor-kantor di Kota Lama Semarang, yang juga dikenal sebagai Kota Lama. Bahkan, perusahaan besar Kian Gwan atau Oei Tiong Ham Concern yang dimiliki oleh konglomerat pertama Asia Tenggara, Oei Tiong Ham, juga berpusat di Kota Lama Semarang. Cabang-cabang Kian Gwan di Asia Tenggara, Eropa, Amerika, dan Tiongkok diatur langsung dari Semarang.

Sebagai pusat perdagangan, banyak orang Belanda yang memilih untuk tinggal di sini. Oleh karena itu, gereja dengan arsitektur khas Eropa pun dibangun di komplek ini. Gereja tersebut diberi nama Gereja Blenduk yang hingga kini masih menjadi ikon pariwisata di Semarang.

Pusat perdagangan tentu membutuhkan banyak bangunan pendukung. Oleh karena itu, banyak bangunan bergaya Eropa yang didirikan di kawasan Kota Lama. Meskipun sebagian bangunan saat ini tidak lagi digunakan, namun keberadaannya justru menambah eksotisme Kota Lama Semarang.

Untuk melindungi aktivitas perdagangan dan barang-barang dagangan, Benteng Vijhoek juga didirikan sebagai benteng pelindung kawasan ini. Benteng ini cukup luas dengan salah satu pintu masuk utamanya adalah Jembatan Berok.

Posisinya yang terpisah dari kawasan-kawasan lainnya menjadikan area ini dikenal sebagai Little Netherland, sebuah sudut kecil Belanda di tengah-tengah kehidupan urban Semarang.

Kampung Melayu: Titik Temu Multikultural di Semarang

kampung melayu semarang

Kampung Melayu di Semarang mengacu pada sebuah permukiman yang kaya dengan budaya beraneka ragam dari berbagai bangsa. Permukiman ini dihuni oleh banyak pendatang atau keturunan dari Melayu, Arab, Gujarat, dan tentu saja, Jawa. Terletak di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, Kampung Melayu telah berubah menjadi destinasi wisata baru. Pemerintah Kota Semarang berinisiatif untuk mengoptimalkan potensi kampung legendaris ini sebagai salah satu destinasi wisata, yang berkolaborasi dengan kawasan-kawasan kuno lainnya di Kota Semarang.

Di masa mendatang, Kampung Melayu akan diintegrasikan sebagai titik atraksi wisata yang masuk dalam kawasan Semarang Lama, yakni Pecinan, Kauman, dan Kota Lama Semarang.

Kampung Melayu di Semarang juga membawa jejak sejarah perkembangan Islam di wilayah tersebut. Asal mula Kampung Melayu di Semarang bermula dari berabad-abad lalu saat pedagang dan pendakwah dari negara lain merapat ke wilayah ini melalui pelabuhan perdagangan.

Dari berbagai sumber, diketahui bahwa Kampung Melayu dulunya banyak dihuni oleh pendatang keturunan Melayu yang tinggal di kawasan itu untuk berdagang. Kemudian, bangsa lain seperti Arab dan Gujarat India, serta orang Cina dan Eropa berlabuh di sini untuk berdagang dan berdakwah.

Para pendatang Arab dan Gujarat India yang beragama Islam kemudian mendirikan tempat ibadah di tepi sungai yang pada waktu itu menjadi pelabuhan. Mereka mendirikan masjid yang hingga kini masih berdiri tegak dan tetap asli, serta digunakan untuk ibadah. Masjid tersebut dikenal dengan nama Masjid Menara, di mana menara masjid ini tinggi dengan arsitektur khas Timur Tengah.

Seiring berjalannya waktu, komunitas Muslim berkembang di komunitas tersebut. Beberapa rumah di sekitar Masjid Menara memiliki gaya arsitektur yang terbuat dari kombinasi tembok dan kayu dua lantai dengan teras atau balkon di lantai atas yang menjadi ciri khas rumah gaya Melayu.

Kampung Melayu menawarkan berbagai keunikan, di antaranya masjid bersejarah seperti Masjid Menara Layur dan Masjid Soleh Darat, serta rumah-rumah dengan arsitektur Melayu, Arab, dan Cina.

Tergambar jelas betapa kaya dan beragamnya budaya yang tersimpan di empat kampung budaya di Semarang: Kampung Kauman, Kampung Pecinan, Kampung Belanda, dan Kampung Melayu. Setiap kampung membawa cerita, tradisi, dan jejak historis yang menjadi bagian tak terpisahkan dari mosaik budaya dan sejarah Semarang, serta Indonesia pada umumnya.

Kekayaan ini bukan hanya menjadi bukti nyata dari silsilah multikultural Semarang, tetapi juga menawarkan jendela untuk memahami dan mengapresiasi kompleksitas dan keindahan budaya yang telah berbaur dan tumbuh bersama selama berabad-abad.

Mengunjungi kampung-kampung budaya ini bukan hanya akan membuka mata Anda terhadap keberagaman budaya yang luar biasa, namun juga akan menghubungkan Anda dengan sejarah panjang yang telah membentuk karakter dan identitas kota Semarang. Dengan menjelajahi kampung-kampung ini, Anda akan mendapatkan kesempatan untuk menapaktilasi jejak-jejak masa lalu, merasakan kehidupan keseharian masyarakatnya, serta menikmati estetika arsitektural dan kearifan lokal yang ditawarkan oleh setiap kampung.

Oleh karena itu, kami sangat mendorong Anda untuk mengambil waktu dan menjelajahi kampung-kampung budaya ini saat berkunjung ke Semarang. Setiap sudut kampung menyimpan cerita dan pengalaman yang menarik, yang tidak hanya akan memperkaya pengetahuan Anda tentang budaya dan sejarah, tetapi juga akan meninggalkan kesan mendalam dan apresiasi yang tulus terhadap kekayaan dan keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh kota ini.